Come and See My World

Kenapa Bunda Bekerja?

Saat berangkat sekolah pagi ini, Azzam bertanya, “Bunda, kenapa mamanya temenku ada yang ga bekerja, lha kenapa bunda bekerja?”. Aaah…akhirnya pertanyaan itu datang juga. Pertanyaan yang tidak cukup dijawab dengan penjelasan singkat, karena Bunda punya serentetan uraian yang panjang untuk membahasnya. Ok, Bunda lengkapi penjelasan bunda pagi tadi dengan tulisan ini, semoga kelak saat kau dewasa, uraian ini dapat membantumu memahami atas semua pilihan yang telah Bunda ambil.

Ada dasar yang perlu diletakkan secara kokoh terlebih dahulu sebelum saya memulai uraian tentang pendapat, ide dan opini pribadi saya sebagai ibu bekerja, agar tidak menimbulkan multi tafsir atas tujuan saja menulis bahasan tentang hal tersebut. Hal pokok itu adalah, saya tidak sedang membuat perbandingan antara ibu bekerja (di luar rumah) versus ibu tidak bekerja atau ibu rumah tangga atau apa saja istilahnya.  Dan harus dicatat, bahwa saya tidak pernah setuju dengan segala opini yang saling menyudutkan diantara keduanya, karena bagi saya bukan masalah bekerja atau tidak bekerjanya seorang ibu itu dinilai, melainkan dari kesiapan, ketenangan batin dan tanggung jawabnya dalam menjalankan peran sebagai seorang ibu. Mau bekerja di rumah, bekerja di kantor, menghasilkan uang sendiri, atau tidak menghasilkan, itu tidak penting, karena pointnya adalah pada kemampuan menjalankan perannya dengan baik dan tidak abai akan tanggung jawabnya. Jadi, uraian berikut ini adalah murni curahan hati sebagai materi penjelasan atas pertanyaan tentang mengapa saya yang seorang ibu dengan tiga putra ini memilih untuk bekerja.

Pertanyaan “Mengapa saya memilih untuk bekerja?” biasanya akan berbuntut pertanyaan-pertanyaan berikutnya, seperti, “Bagaimana dengan pengasuhan dan pendidikan anak-anak jika saya bekerja? Tidakkah khawatir akan terbengkelai?”, atau “Bagaimana saya yang punya gelar sarjana, lalu menyerahkan pengasuhan anak-anak pada pembantu yang hanya lulus SD?”.

Saya akan runut dari awal perjalanan saya meniti rumah tangga untuk menjawabnya, karena ini tidak hanya semata-mata tentang saya seorang, melainkan melibatkan banyak pihak, suami, anak-anak, dan mungkin keluarga besar. Berawal dari sebuah komitmen. Hal pertama yang saya tanyakan kepada calon suami adalah bagaimana pandangan beliau tentang wanita bekerja? Akankah saya diizinkan untuk berkarya di luar rumah? Bukan karena saya berfaham feminis, tapi lebih kepada mengukur fleksibilitas sikap beliau terhadap peran istri. Dari tahapan ini saya mengetahui bahwa calon suami saya mempunyai pandangan yang kurang lebih sama dengan saya. Maka, ketika pernikahan sudah ditapaki, masing-masing telah sangat memahami fungsi dan perannya dengan baik. Salah satu nikmat terbesar yang Alloh berikan untuk saya, memasangkan saya dengan sosok suami yang memberikan ruang yang leluasa bagi isteri untuk mengeksplorasi apa saja yang menjadi minat dan mengimplementasikan keilmuan yang dikuasai.

Pilihan untuk bekerja bersifat sangat personal. Selain dampak financial yang dapat dihasilkan, berkerja di luar rumah merupakan salah satu upaya saya agar tidak ‘settle’ di satu titik saja. Ilmu, lingkungan, manusia dengan pemikirannya terus berkembang seiring bergulirnya waktu. Maka menjadi sebuah tuntutan bagi saya untuk dapat berakselerasi dengan dinamisasi tersebut, tidak diam. Melakukan berbagai hal dengan penuh gairah dalam bidang yang diminati, memberikan peluang bagi saya untuk terus berkembang. Lagi-lagi, Alloh memberkahi saya dengan nikmat luar biasa dengan menempatkan saya di sebuah tempat kerja  dan bidang kerja yang ‘gue banget’.

Bekerja adalah tidak sama dengan mengejar karir. Jadi, ketika izin suami sudah didapat, dan lalu saya berkesempatan bekerja di luar rumah, tidak lantas secara otomatis menjadikan saya seorang isteri yang pantas disebut "lebih memilih karir di atas keluarga". Tidak demikian. Tidak semua ibu bekerja selalu bernafsu untuk mengejar karir, dan sudah pasti tidak semua ibu bekerja abai dalam urusan rumah tangga. Terlebih untuk urusan pengasuhan dan pendidikan anak-anak. 

Jika banyak pendapat yang berangkat dari pemikiran “Ibu yang full berada di rumah saja belum tentu menghasilkan ‘output’ anak yang memuaskan, apa lagi ibu yang bekerja di luar rumah?” saya sepenuhnya kurang sependapat dengan hal tersebut, lagi pula sepertinya belum pernah ada penelitian yang menghubungkan korelasi antara ibu bekerja atau tidak, dengan output anak yang dihasilkan. Banyak anak yang dinilai tidak berhasil dalam tumbuh kembangnya karena si ibu bekerja, namun banyak pula contoh kasus dimana si ibu yang punya waktu penuh di rumah tapi anaknya juga tidak berhasil. Jadi, kurang pas jika masalah ketidakberhasilan anak dihubungkan dengan profesi si ibu.

 Bagi saya pointnya adalah “how to manage”. Tentu saja, dalam hal ini saya masih terus dalam tahapan belajar. Saat memutuskan bekerja, tentu saja saya sudah harus memahami konsekuensi yang akan timbul sebagai akibat dari pilihan tersebut. Ada sekian jam yang harus saya korbankan dalam satu harinya   dilalui oleh anak-anak tanpa pengawasan saya, ibunya. Beruntungnya, saya tidak sampai harus dihadapkan pada dilema pilihan antara tetap bekerja atau harus resign untuk mengurus anak, karena saya dipertemukan dengan seorang asisten rumah tangga yang ‘all in one package’, semua bisa dihandlenya dengan baik. Sebuah nikmat luar biasa lagi yang Alloh berikan untuk saya. Ditambah lagi, sosok eyang yang senantiasa memberikan support bagi saya dan keluarga, memberikan saya kemudahan dalam mencari solusi atas segala kesulitan yang ada. Ya… tinggal ‘how to manage’ sekarang, agar semua hal dalam urusan rumah tangga tidak ada yang terabaikan saat ibu harus bekerja di luar rumah.

Lalu jika ditanya “tidakkah saya khawatir dengan menyerahkan pengasuhan anak pada seorang pembantu?”, jawaban saya masih tetap sama, it’s a matter of how to manage. Saya tidak sendiri dalam mengasuh anak-anak. Ada suami. Ada eyang kakung dan eyang putri. Terhadap sang asisten, kami semua membangun komunikasi dua arah dengan baik. Kami senantiasa menyampaikan padangan-pandangan dan harapan-harapan dalam hal pengasuhan anak untuk dapat ia copy dan terapkan sebagai wakil kami, saat kami tidak berada di samping anak-anak karena harus bekerja. Alhamdulillah, hingga saat ini semua berjalan dengan baik.

Inti dari keseluruhan uraian tersebut di atas adalah saya ingin terus berkembang dengan melalukan apa yang menjadi minat saya dengan senantiasa memastikan semua urusan di rumah tetap berjalan dengan baik. Insyaalloh. Jika dengan bekerja di luar rumah dapat membuat saya merasa bahagia, saya akan memliki banyak ketenangan dan kebahagiaan yang cukup untuk saya bagikan kepada anak-anak. Hal penting yang di damba anak dari ibunya.


#OK, tampaknya penjelasan di atas sudah terlalu lebay untuk pertanyaan seorang Azzam. 

Comments

  1. Tante bantu jawab, dek Azzam :

    "Ssst.. Bunda itu sebenernya ga kerja kok.. Itu cuma akting aja.. Diem-diem tapi ya.."

    :3

    ReplyDelete
    Replies
    1. jadi...alasan sebenarnya kenapa bunda bekerja adalah, supaya bisa tetep mogleng2 le...wkwkkwkwk...iku nak nek isih karo kowe pex..

      Delete

Post a Comment

Popular Posts