Tentang Tita, Pantai Teleng Ria dan Pacitan
Sudah tak terhitung berapa kali saya mengunjungi Pacitan. Di
masa kecil, satu-satunya tujuan liburan saya ya cuma ke Pacitan, ke tempat mbah
kakung dan mbah putri. Hingga kini, meskipun mbah kakung dan mbah putri sudah
tidak ada, kunjungan ke sana masih saja menjadi suatu hal yang kami
nanti-nanti. Dan kali ini tampaknya
menjadi kunjungan terseru kami hingga rasanya harus kudu dan wajib saya tulis. Kenapa seru? karena balita cantik, ndut nan montok bernama Tita Suheri (Suka Heboh Sendiri) bergabung dalam perjalanan ini. Bisa dibanyangkan, bagaimana hebohnya Tita nanti, bagaimana kacaunya kabin mobil nanti, dan bagaimana gempornya kami nanti karna sibuk mengawasi polah tingkahnya.
Tanggal 3 dan 4 Oktober, telah kami tandai sebulan
sebelumnya. Rencana sengaja kami susun jauh-jauh hari, mengingat kesibukan Pakdhe
Ridwan dan Budhe Siti yang padat merayap sehingga kami harus memastikan bahwa hari libur yang kami
pilih haruslah mengakomodir kepentingan semua pihak. Maka tersepakatilah tanggal
tersebut menjadi tanggal eksekusi.
Sabtu pagi, selepas subuh, kami bersepuluh bertolak dari rumah. Tiga anak dan satu orang balita, kami angkat paksa dari ranjang mereka untuk kami pindahkan ke mobil, agar kami dapat memenuhi target untuk bisa berangkat pagi-pagi benar. Seperti biasa, yangti sebagai kepala urusan logistik, telah memastikan urusan sarapan tertangani dengan baik, sehingga kami tidak perlu khawatir kelaparan meskipun kami belum sarapan. Skenarionya adalah, berangkat subuh, agar tidak kesiangan tiba di kota Pacitan. Lalu mampir sebentar ke Pantai Teleng Ria, menggelar tikar piknik, untuk sarapan lalu memandikan anak-anak di sana.
Perjalan menuju kota Pacitan memakan waktu 3 jam. Saya,
budhe dan anak-anak dikumpulkan menjadi
satu mobil bersama ayah, untuk memberikan sensasi hore-hore sepenuhnya
bagi Azzam, Sasha, Amira dan Tita. Yangkung
dan yangti berada satu mobil bersama pakdhe dan semua barang bawaan. Seperti yang
sudah kami duga, anak-anak khusyuk tertidur selama perjalan, kecuali Azzam yang
tetap terjaga sepanjang perjalanan. Tita? sungguh beruntung saya, karena hampir sepanjang perjalanan Tita tertidur, hanya terbangun sekali untuk muntah karena mabuk perjalanan, hadeeh.Alhamdulillah, pukul 8.30 kami tiba di kota
Pacitan. Rombongan langsung berbelok ke arah Pantai yang berada tak jauh dari
pusat kota. Hanya perlu wantu 10 menit saja, hingga kami benar-benar mencium
aroma pantai di pagi hari yang sangat menyegarkan.
Kami beruntung. Susanan pantai sangat lengang.
Sepiiii sekali. Rombongan pengunjung lain yang terlihat hanyalah sekelompok
bikers yang sedang beristirahat di bawah naungan pepohonan yang rindang. Selebihnya
itu, tak ada lagi, hanya kami bersepuluh.
Terakhir saya mengunjungi pantai ini adalah saat saya masih duduk di
bangku SMA, jadi kira-kira sudah 15 tahun yang lalu. Kini penampakan yang
tersuguh sudah jauh berubah. Pantai Teleng Ria makin bersih, tertata rapi dan
apik. Adanya pohon-pohon yang sengaja ditanam sebagai naung-naungan di
sepanjang pinggir pantai menambah pantai ini makin cantik dan menarik.
Azzam tak henti-hentinya berteriak “hore pantai, hore pantai!!”.
Sasha dan sepupunya Amira juga tak kalah antusiasnya. Tita? Jangan ditanya. Dia
satu-satunya peserta yang belum pernah melihat pantai, namun semangatnya tetap
yang paling heboh melebihi kakak-kakaknya. Alas kami gelar di bawah jajaran
pepohonan rindang yang tertanam rapi. Semua yang sudah kelaparan segera
menyantap nasi bungkus bekal sarapan yang disiapkan Yangti. Usai mengisi perut,
seluruh pasukan segera berlarian ke balik gundukan pasir pantai yang membentang
disepanjang pinggir pantai, sehingga menghalangi pandangan kami ke arah pantai.
Pantai baru jelas terlihat saat kami sudah mendaki, dan berada di atas gundukan
pasir tersebut. Serbuuu!! Semua berlarian mendekati bibir pantai.
Hanya kami bersembilan saja yang berlarian di pantai
yang panjang terbentang dengan pasir coklat dan obak yang tenang itu. (Yangti
menolak mendekat ke pantai, malas panas-panasan katanya, hehe). Ya, ombaknya
memang tak besar. Maka kami tenang saja membiarkan anak-anak bergulung-gulung
di pasir menghadang ombak-obak kecil yang mendekat. Tita? Dia panik saat ombak
pertama menghempasnya. Namun, bukan Tita namanya kalau tak bisa beradaptasi
dengan sangat cepat. Dalam hitungan detik, dia sudah sangat menikmati asinnya
air laut dan butiran pasir yang menyentuh bibirnya, hihihi.
Satu jam lebih kami ber-free style ria di sana. Kalau tak
ingat masih harus melanjutkan perjalan ke tempat selanjutnya, malas rasanya
kami meninggalkan pantai. Apalagi anak-anak, langsung pasang muka cemberut saat
diberikan aba-aba untuk segera beranjak meninggalkan istana pasir yang mereka bangun.
Usai membersihkan diri, kamipun bertolak
melanjutkan perjalanan menuju destiny selanjutnya, ke rumah Mbak Yani, kerabat
kami. Mbak Yani yang dulu punya peran vital selama tumbuh kembang Azzam dan
Sasha. Mbak Yani yang menemani Azzam dan Sasha bermain dan belajar saat Bunda
harus bekerja, di sela-sela kesibukannya kuliah waktu itu. Kini mbak Yani sudah
punya momongan sendiri. Dan kami tak sabar ingin segera sampai di Ds. Tulakan,
tempat mbak Yani tinggal, untuk melihat adik bayinya.
Perjalanan menuju Ds. Tulakan membutuhkan waktu satu jam
dari kota Pacitan. Sebenarnya jaraknya tidak jauh, hanya 28 Km saja, namun
karena rutenya sangat menanjak dan berliku, penuh dengan tikungan-tikungan
tajam dan menukik, membuat sang sopir tak dapat memacu kendaraan dengan cepat. Selayaknya mendaki gungung menggunakan kendaraan. Bagi yang belum
terbiasa berkendara dengan rute perjalanan yang demikian, bisa dijamin ia akan
pusing lalu mabuk perjalanan. Tak terkecuali Tita. Tita yang tidak bisa duduk
tenang, sibuk berpindah dari jok depan ke belakang, memaksa kami untuk menepi
karena tiba-tiba muntah. Hadeeh…
Menjelang dhuhur, kami sudah tiba di tujuan. Semua keluarga
menyambut dangan hangatnya. Kamipun dipersilakan untuk segera makan dan
beristirahat sambil asik ngobrol saling mengabarkan berita gembira.
The next day…
Kami sudah harus pulang kembali ke Solo, karena keesokan
harinya kami harus kembali beraktivitas. Kami rencanakan, selepas dhuhur, kami
akan berpamitan pulang. Sebelum itu, kami agendakan untuk berjalan-jalan
menyusuri pegunungan disekitar tempat tinggal Mbak Yani. Berkunjung ke rumah
tetangga di sana, memberikan sensasi wisata alam yang sangat menarik.
Rumah satu dengan yang lainnya tidak berjajar berdampingan, namun tersusun
atas bawah, karena rumah-rumah dibangun dengan meratakan lereng-lereng di
pegunungan tersebut. Maka, jalan-jalan disana itu mirip-mirip offroad kalau
boleh saya bilang.
Pakdhe mengajak kami pergi mengunjungi sekolah SD nya dulu.
Ya, Pakdhe Ridwan menghabiskan masa kecilnya disini, hingga sempat mengenyam
satu tahun di bangku SD di SD Tulakan. Yangkung berjalan memandu kami,
menyusuri medan yang pastinya berat untuk anak-anak. Yangkung sangat bersemangat memimpin konvoi
sambil bercerita tentang pengalaman masa kecilnya dengan berapi-api. Sesampai
kami di halaman sekolah, anak-anak berhamburan ke tengah halaman. Bak pasir
yang mereka sasar. Dan dimulailah acara berkubang di bak pasir dengan
khidmatnya. Hehe.
Puas bermain-main di halaman sekolah, destiny kami
berikutnya adalah bengkel pandai besi peninggalan mbah kakung kami yang saat
ini diteruskan oleh Paman kami, Mbah Slamet. Mengamati cara membuat piranti
pertanian dari besi menjadi moment yang sangat berharga bagi Azzam dan Sasha.
Tita? Jangan ditanya lagi ya. Tita tetap yang paling heboh, meskipun dia tidak
tau sama sekali tentang apa itu pandai besi. Profesi pandai besi sudah telah
ditekuni oleh leluhur keluarga kami, dimulai sejak masa pemerintahan Kakek
buyut saya (hallah…), kemudian diwariskan kepadan Mbah Kakung, dan kini
diteruskan oleh adik Ayah saya. Profesi itulah yang membuat keluarga kami
banyak dikenal di seantero desa, hehe. Jika mencari kami, tak perlu bingung,
tinggal tanya saja rumah Mbah Pande, dijamin, anda akan dituntun ke jalan yang
benar.
Menemani Azzam belajar cara membuat sabit nampaknya menjadi
penghujung agenda kegiatan kami di Pacitan. Sesuai rencana, dhuhur kami sudah
bertolak meninggalkan desa tercinta kami menuju Solo. Tita? Jangan tanya-tanya
lagi deh soal dia. Tita sama sekali tak mau tidur selama perjalanan. Muntah
lagi sekali, dan tetap heboh sendiri tanpa jeda hingga kami tiba dirumah dengan
selamat. Alhamdulillaaah.
Comments
Post a Comment