Come and See My World

Setiap Anak adalah Unik


pic cource: sodahead.com
Saya harus mencatat ini! Sebuah bahasan menarik yang saya dapatkan dari pertemuan wali murid Al Firdaus pekan lalu. Pertemuan yang diselenggarakan secara rutin sebulan sekali ini, mendatangkan nara sumber seorang psikolog dari UMS, Ibu Riska. Dari beliau saya mengutip dan menggarisbawahi sebuah kalimat yang akan saya pegang erat-erat selama mengasuh dan membesarkan anak-anak saya, Insyaallah: Dalam mengukur perkembangan seorang anak, anak harus dinilai secara individual, bukan secara klasikal.

Menjadi hal yang amat lumrah dan jamak terjadi, jika orang tua sering khawatir jika sang buah hati belum berjalan dengan lancar, sedangkan anak seusianya sudah mahir berjalan. Orang tua juga akan resah jika si 3 tahun belum dapat menunjuk dan menyebut angka, sedangkan teman sebayanya sudah hafal satu hingga sepuluh. Bahkan sesaat sebelum menghadiri pertemuan tersebut, saya ditanya oleh seorang wali murid “Si Mawar itu kok pinter banget melukis ya, anakku kok ga bisa ya. Les gambar yang ok tuh dimana sih jeng?”.

Sangatlah tidak bijaksana jika menentukan standar pencapaian seorang anak berdasarkan kemampuan dan kecakapan anak lainnya. Karena masing-masing anak terlahir dengan kecakapan dan spesialisasinya masing-masing. Seorang anak yang sama sekali tidak mempunyai ketertarikan terhadap musik, lalu diperbandingkan dengan anak lain yang mahir memainkan piano, lalu buru-buru memasukkannya ke sekolah musik agar mampu pula bermain piano, tentu akan menjadi sesuatu yang mengerikan bagi si anak. Bukankah setelah semua anak menjadi orang dewasapun tidak semuanya menjadi pemusik atau pianis? 

Ibu Riska menjelaskan bahwa idealnya kemajuan perkembangan seorang anak harus diukur dari start awal kondisi si anak sebelumnya. Jika sebelumnya si 3 tahun yang diketahui normal secara fisiologi sama sekali belum mau mengucap kata-kata, lalu dua bulan kemudian dia sudah mampu mengucap kata meskipun hanya suku kata akhirnya saja, itu adalah perkembangan yang sangat baik, meskipun teman sebayanya sudah lihai merangkai kalimat. Jika diawal sekolah seorang anak sama sekali tidak mau berpisah saat ditinggal orang tuanya, lalu setahap demi setahap mulai bisa lepas meskipun masih dengan menangis, itu adalah prestasi luar biasa bagi anak tersebut, meskipun teman-teman sekelasnya sudah sangat berani bermain sendiri tanpa ada pendamping.

Pelajaran yang amat berharga untuk saya. Sebuah pengingat untuk saya agar tidak lupa bahwa Azzam, Sasha dan anak-anak yang lain adalah pribadi yang unik, tidak akan sama antara satu dengan yang lainnya. Seorang anak bisa jadi lemah di satu hal, tapi saya yakin ia akan sangat menonjol di bidang yang lain. Tugas kitalah para orang tua untuk lebih sabar dan tekun menemukan potensi anak, lalu menggalinya lebih dalam, sehingga ia akan tumbuh menjadi pribadi yang tidak minder, karena ia bangga akan ‘keunikan’ yang ia miliki. Bukankah kita tidak mendidik anak-anak kita untuk menjadi orang lain, melainkan untuk menjadi dirinya sendiri?.

Comments

  1. cyiiiin,,, ku beri sangu liburan taun baru yak.. ^_^

    http://novsabatini.wordpress.com/2012/12/28/sunshine-award/

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts