"Nyadran" dari kaca mata Islam
Ramadan segera menjelang. Semua tampak
hiruk pikuk menyambut datangnya bulan suci yang penuh berkah tersebut.
Pusat-pusat perbelanjaan sudah sibuk berhias dengan atribut bernuansa Islami.
Iklan-iklan di media cetak dan elektronik bernuansa Ramadan sudah tampak
wara-wiri bahkan dua bulan sebelum Ramadan datang. Tak terkecuali tempat-tempat
pemakaman, mulai ramai dikunjungi peziarah dalam rangka nyadran, agenda khusus
untuk menyambut bulan puasa. Ya, nyadran memang sudah sangat kental membudaya
di masyarakat kita, dan mulai identik dengan ritual keagamaan Islam, karena
kebanyakan meniatkan ziarahnya untuk menyambut bulan suci Ramadan. Namun,
bagaimana sebenarnya hukum nyadran itu sendiri dalam Islam?
Dengan harapan dapat berbagi
informasi tentang kebenaran, berikut sebuah unduhan artikel yang mengupas
tentang kedudukan nyadran dari prespektif Islam, yang saya peroleh dari www.KonsultasiSyariah.com.
Dan sesuai dengan judul artikelnya, ulasan ini khusus diperuntukkan bagi mereka
yang ingin mengetahui hukum nyadran dari kaca mata Islam saja. Jadi jika sebelum
membaca artikel ini sudah memiliki keyakinan bahwa nyadran adalah sah-sah saja
dilakukan oleh muslimin dengan dasar diluar Islam, sebaiknya tidak perlu
melanjutkan membaca. Karena dikhawatirkan akan memancing perdebatan (hallah…).
Sebelum membahas hukum nyadran, kita akan melihat bagaimana pengertian nyadran. Dalam wikipedia versi jawa dinyatakan,
Nyadran iku salah siji prosèsi
adat budhaya Jawa awujud kagiyatan setaun sepisan ing sasi Ruwah wiwit saka
resik-resik saréan leluhur, mangsak panganan tertamtu kaya déné apem, ater-ater
lan slametan utawa kenduri. Jeneng nyadran iki asalé saka tembung sraddha,
nyraddha, nyraddhan, banjur dadi nyadran.
[http://jv.wikipedia.org/wiki/Nyadran]
Terjemahnya kurang lebih,
‘Nyadran adalah salah satu
prosesi adat jawa dalam bentuk kegiatan tahunan di bulan ruwah (sya’ban), dari
mulai bersih-bersih makam leluhur, masak makanan tertentu, seperti apem,
bagi-bagi makanan, dan acara selamatan atau disebut kenduri. Nama nyadran
sendiri berasal dari kata Sradha – nyradha – nyradhan, kemudian menjadi
nyadran.’
Dalam keterangan versi indonesia,
dinyatakan,
Nyadran merupakan reminisensi
dari upacara sraddha Hindu yang dilakukan pada zaman dahulukala. Upacara ini
dilakukan oleh orang Jawa pada bulan Jawa-Islam Ruwah sebelum bulan Puasa,
Ramadan, bulan di mana mereka yang menganut ajaran Islam berpuasa.
Upacara sadran ini dilakukan
dengan berziarah ke makam-makam dan menabur bunga (nyekar). Selain itu upacara
ini juga dilaksanakan oleh orang Jawa yang tidak menganut ajaran Islam. [http://id.wikipedia.org/wiki/Sadran]
Berdasarkan keterangan di atas, kita mengambil kesimpulan tentang
status nyadran
- Nyadran sejatinya reminisensi (kenangan) dari upacara hindu
- Nyadran dilestarikan oleh sebagian orang jawa dan menjadi adat mereka
- Nyadran dilakukan di waktu tertentu, yaitu di bulan sya’ban, yang oleh orang jawa disebut ulan ruwah. Sebagian referensi menyebutkan, kata ruwah merupakan turunan dari kata arwah (ruh).
- Nyadran bukan semata kegiatan senang-senang, bergembira ria, namun ada unsur ritual tertentu. Keberadaan ritual ini tidak akan lepas dari keyakinan tertentu atau ideologi yang menjadi motivasi utama untuk melakukannya.
- Nyadran tidak hanya dilakukan kaum muslimin, tapi juga selain penganut islam, seperti kejawen, hindu, dan penganut aliran kepercayaan lainnya.
Mengacu pada beberapa catatan di atas, kita beralih pada pembahasan
hukum nyadran.
Pertama, dengan memahami tradisi nyadran, kita tentu sepakat
nyadran 100% bukan ajaran islam. Hanya saja, oleh sebagian orang jawa diklaim
sebagai bagian dari islam. Mulai dari sejarah yang melatar belakanginya, hingga
perjalanannya, bukti nyata nyadran bukan ajaran islam. Bahkan sejatinya,
nyadran merupakan reminisensi ajaran hindu. Di sebagian situs berita dirilis,
Umat Islam dan katholik ‘Nyadran’ bersama. Sungguh aneh jika masih dianggap
ajaran islam??
Salah satu fenomena akhir zaman,
yang dialami umat Islam, membeo kepada orang kafir dalam tradisi dan dan ritual
mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ
مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ، وَذِرَاعًا
بِذِرَاعٍ، حَتَّى لَوْ سَلَكُوا
جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ
“Sungguh kalian akan mengikuti
kebiasaan kaum sebelum kalian, sama persis sebagaimana jengkal tangan kanan
dengan jengkal tangan kiri, hasta kanan dengan hasta kiri. Sampai andaikan
mereka masuk ke liang biawak, kalian akan mengikutinya.” (HR. Bukhari 3456,
Muslim 2669 dan yang lainnya).
Meskipun konteks hadis ini
berbicara tentang orang yahudi dan nasrani, tapi secara makna mencakup seluruh
kebiasaan kaum muslimin yang mengikuti tradisi dan budaya yang menjadi ciri
khas orang kafir.
Sementara, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam telah memberikan kaidah, meniru ritual orang kafir, apapun
bentuknya, berarti telah meniru kebiasaan mereka. Dan tindakan ini telah
melanggar peringatan dalam hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من تشبه
بقوم فهو منهم
“Siapa yang meniru kebiasaan satu
kaum maka dia termasuk bagian dari kaum tersebut.” (HR. Abu Daud 4031 – hadis
shahih).
Kedua, nyadran dilakukan di waktu tertentu, yaitu bulan ruwah
(sya’ban).
Masyarakat memilih waktu ini
tentu tidak sembarangan. Ada keyakinan yang melatar-belakanginya. Jika tidak,
mereka akan melakukannya di sepanjang tahun tanpa mengenal batas waktu. Dan
karena itulah mereka menyebut bulan sya’ban sebagai bulan ruwah. Bulan untuk
mengirim doa bagi para arwah leluhur. Bagian yang perlu kita garis bawahi di
sini, nyadran dilakukan di setiap bulan sya’ban.
Dalam hadis dari Abu Hurairah
radhiyallhu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَجْعَلُوا
بُيُوتَكُمْ قُبُورًا، وَلَا تَجْعَلُوا قَبْرِي
عِيدًا
“Janganlah kalian menjadikan
rumah kalian sebagaimana kuburan. Dan jangan jadikan kuburanku sebagai ‘id.”
(HR. Ahmad 8804, Abu Daud 2042, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf 7542 – hadis
shahih)
Kesimpulan tentang nyadran di bulan
sya’ban ini akan kita kaitkan dengan kata ‘id.
Pada hadis di atas, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang umatnya untuk menjadikan kuburan beliau
sebagai ‘id. Jika kuburan beliau dilarang, tentu kuburan selain beliau hukumnya
lebih terlarang.
Apa makna menjadikan kuburan
sebagai ‘id?
Terlebih dahulu kita pahami
pengertian ‘id
Dalam Lisan Al-Arab (kamus besar
bahasa arab) dinyatakan,
العِيد هو
كلُّ يومٍ فيه جَمْعٌ،
واشتقاقه من: عاد يعود،
كأنهم عادوا إليه، وقيل:
اشتقاقه من: العادة، لأنهم
اعتادوه، والجمع أعياد. …. قال
ابنُ الأعرابيّ: سُمي العيدُ عيداً
لأنه يعود كل سنة
بفرح مُجدد
‘Id adalah istilah untuk hari
yang disana ada kumpul-kumpul, turunan dari kata: ‘ada – ya’uudu (yang artinya
kembali), karena masyarakat selalu kembali melakukannya. Ada juga yang
mengatakan, turunan dari kata Al-Adah (adat), karena masyarakat membiasakannya.
Bentuk jamaknya, a’yaad. Ibnul A’rabi mengatakan: ‘Dinamakan ‘id karena hari
raya itu kembali dirayakan dengan kebahagiaan tertentu.’ (Lisanul ‘Arab, 3/315)
Syaikhul Islam dalam Al-Iqtidha
mengatakan,
فالعيد اسم
لم يعود من الأجتماع
على وجه معتاد ,عائد
آما بعود السنة أو
بعود الأسبوع أو الشهر
أو نحو ذلك
‘id adalah istilah untuk menyebut
kegiatan kumpul-kumpul karena kebiasaan, yang selalu dilakukan berulang, baik
tahunan, setiap pekan, maupun bulanan. (Iqidha shirat Al-Mustaqim, 1/394)
Berdasarkan keterangan di atas,
dapat kita simpulkan bahwa suatu kegiatan bisa disebut ‘id, jika memiliki
kriteria,
- Ada acara kumpul-kumpul untuk kegiatan tertentu
- Dilakukan pada waktu tertentu atau tempat tertentu, yang ini menjadi latar belakang mereka berkumpul
- Dijadikan adat dan kebiasaan masyarakat. Baik karena alasan agama atau lainnya.
Karena itulah, kegiatan kaum
muslimin di hari jumat disebut ‘id. Karena mereka berkumpul pada hari itu, dan
menjadi tradisi kaum muslimin. Berbeda dengan acara kajian yang dilakukan
setiap hari tertentu. Semacam ini tidak disebut ‘id, karena mereka berkumpul
bukan atas motivasi tempat atau waktu, tapi karena mengikuti kajian.
Memahami hal ini, kegiatan
nyadran yang dilakukan kaum muslimin bisa disebut ‘id. Karena semua kriteria
‘id ada di sana. Ada acara kumpul-kumpul, dilakukan di kuburan, setiap sya’ban,
dan itu menjadi tradisi masyarakat.
Menyadari hal ini, sejatinya
tradisi nyadran melanggar hadis dari Abu Hurairah di atas, dimana Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menjadikan kuburan sebagai ‘id. Beliau
melarang kuburan dijadikan tempat kumpul-kumpul untuk kegiatan nyekar bersama.
Ketiga, dalam kegiatan nyadran ada unsur ritual tertentu
Ritual ini tidak lebih hanya
meminjam istilah dalam islam untuk melengkapi acara semacam ini. Agar bisa
diterima kaum muslimin sebagai bagian ajaran islam. Tentu saja ini adalah
tindak kriminal terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tidak
pernah mengajarkan demikian kepada umatnya. Bagaimana mungkin bisa diyakini
sebagai bagian dari islam. Bukankah ini sama halnya dengan berdusta atas nama
beliau? Itulah yang dimaksud tindakan kriminal terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
Imam Malik pernah mengatakan,
من ابتدع
في الإسلام بدعة فرآها
حسنة فقد زعم أن
محمدا صلى الله عليه
وسلم قد خان الرسالة
“Siapa yang melakukan perbuatan
bid’ah dalam islam, dan dia anggap itu baik, berarti dia menganggap Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhianat terhadap risalah.” (Al-Inshaf fima
Qiila, hlm. 40).
Dialog dan Sanggahan
Barangkali ada sebagian yang hendak
mempertahankan tradisi ini dengan memberikan alasan. Berikut penjelasannya,
1. Bukankah ziarah kubur sesuatu
yang disyariatkan, mengapa dilarang?
Jawab: Benar, ziarah kubur
disyariatkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan memberi motivasi,
زُورُوا الْقُبُورَ
فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ الْمَوْت
“Lakukanlah ziarah kubur, karena
ziarah kubur akan mengingatkan kalian terhadap kematian.” (HR. Nasa’I 2034, Ibn
Majah 1572 – hadis shahih)
Dalam keterangan yang kami
sampaikan sedikitpun tidak ada larangan untuk melakukan ziarah kubur. Yang
dipermasalahkan bukan ziarahnya tapi tradisi nyadrannya. Karena tradisi ini,
dari beberapa sisi melanggar beberapa aturan syariat.
Lebih dari itu, dalam tradisi
nyadran tidak kita jumpai adanya motivasi ingat mati. Pernahkah anda jumpai ada
orang yang sepulang dari nyadran kemudian menangis karena ingat mati dan sedih
memikirkan dosanya?. Yang ada justru sebaliknya, mereka pesta makan-makan di
kuburan.
2. Dalam tradisi nyadran ada
kegiatan mendoakan jenazah
Mendoakan jenazah sangat
disyariatkan. Allah juga mengajarkan kepada kita untuk mendoakan kaum mukminin
yang telah meninggal, sebagaimana disebutkan dalam beberapa ayat di Al-Quran.
Namun kami belum pernah menjumpai
dalil bahwa itu dilakukan secara berjamaah di bulan tertentu. Padahal kita
tahu, mayit butuh doa setiap saat, dan syariat membolehkan kita mendoakan
jenazah di semua tempat. Dan doa itupun bisa sampai kepada jenazah.
3. Dalam tradisi nyadran ada
kegiatan mengirim pahala sedekah untuk jenazah
Sebagian ulama menegaskan pahala
sedekah bisa samai ke jenazah. Namun ini tidak harus berupa makanan dan tidak
harus dilakukan di kuburan. Kita bisa sedekah atas nama orang yang sudah
meninggal dalam bentuk apapun, tidak harus makanan. Bahkan bersedekah dalam
bentuk benda yang lebih permanen, seperti infak untuk pembangunan masjid,
pesantren, dst, nilainya lebih baik dan lebih lama dibandingkan makanan yang
pengaruhnya cepat habis.
Allahu ‘lam
Dari yang singkat ini, semoga dapat memberikan mafaat dan keberkahan pada kita semua. Aamiin....
Comments
Post a Comment