Hukuman untuk Anak, Perlukah?
pic source: dudeiwantthat.com |
Saya baru belajar. Belajar untuk
menerapkan pola asuh yang paling ideal untuk anak. Dan saya mengakui bahwa ini
bukanlah hal yang mudah untuk dipelajari. Tidak ada sekolah, kursus atau trainer
yang bisa memberikan teori dan pelatihan praktis untuk selanjutnya diterapkan
pada anak. Memang saya babat habis semua artikel dan informasi dari berbagai
media tentang bagaimana mengasuh dan mendidik anak dari usia dini, namun
selebihnya lebih kepada upaya trial and error ketika harus menghadapi berbagai
kasus yang unik pada anak di keseharian mereka.
Meskipun lebih bersifat trial and
error, saya tetap meyakini bahwa kekerasan dengan alasan apapun dalam mendidik
anak, tidak akan membuahkan hasil yang baik. Semakin sering dan keras teriakan
kita pada anak, anak malah akan terbiasa dengan hal tersebut, dan akhirnya
hanya akan menjadi angin lalu baginya. Semakin sering kita memukulnya, maka
anak akan belajar hal yang sama dan menerapkannya saat sedang bermain dengan
temannya. Jadi, memukul dan meneriaki anak bukanlah solusi.
Namun bukan berarti anak tidak
perlu untuk mendapatkan hukuman atas kesalahan yang ia buat. Hukuman tetap
perlu, untuk memperkenalkan konsep sebab akibat dan rasa tanggung jawab. Jelas
bukan hukuman fisik yang saya maksud. Saya lebih memilih untuk menerapkan
hukuman strap di pojok renung. Saya siapkan satu sudut di ruang tengah kami,
yang sengaja dijauhkan dari mainan dan hal menarik lain, dan saya perkenalkan
pada anak sebagai ‘pojok renung’, tempat dimana ia dapat merenungkan segala
kesalahan yang telah ia perbuat. Sesuai teori, saya tidak memilih untuk
mengurung anak di kamar dan member waktu ia untuk merenung. Karena jika hal ini
diterapkan untuk anak dengan usia yang masih sangat dini, bukannya memberikan
waktu untuk berpikir, melainkan hanya akan membuat anak trauma, takut dikurung.
Jika anak mulai melakukan pelanggaran, tentu saja pelanggaran dengan kategori
berat, saya akan membawanya di sudut itu, memintanya untuk duduk selama 5 menit, dan
membuatnya merenungkan kesalahannya.
Dengan menerapkan teknik ini,
saya berharap anak dapat belajar membedakan mana yang boleh dan mana yang
tidak. Belajar untuk mengetahui sebab akibat, belajar untuk menerima
konsekuensi dari kesalahan yang telah dilakukan dan belajar tentang konsep
kedisiplinan. Yang terpenting adalah semua hal tersebut dapat ia pelajari tanpa
ada rasa takut, terancam dan tidak akan meninggalkan trauma yang membekas pada
anak.
Memang tidak mudah memperkenalkan
strap sebagai sebuah hukuman atas kesalahan yang dilakukan anak. Namun dengan
konsistensi, tentu teknik ini akan lebih efektif, dan akan membuahkan hasil
sesuai harapan. Dan yang tak kalah penting lagi adalah mengimbanginya dengan
memberikan pujian atas setiap hal yang berhasil ia capai, sekecil apapun itu.
Comments
Post a Comment